Kemajuan teknologi
informasi secara sadar membuka ruang kehidupan manusia semakin luas, semakin
tanpa batas dengan indikasi manusia sebagai penguasa. Kemajuan teknologi
informasi telah menyentuh segala aspek kehidupan, termasuk dunia jurnalisme.
Hal itu membuat pertukaran dan penyebaran informasi semakin mudah. Dahulu,
peran jurnalis sangat besar dalam menyebarkan informasi. Jurnalis adalah tokoh
sentral yang kehadirannya sangat ditunggu oleh setiap orang. Dengan kata lain,
jurnalis memonopoli tugas sebagai penyebar informasi. Informasi yang akurat dan
dapat dipercaya hanya datang dari jurnalis. Konsekuensinya, jurnalis
ditempatkan dalam posisi yang sangat vital dan mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap informasi.
Namun, kini peran
jurnalis semakin tereduksi dengan kemajuan teknologi tersebut. Salah satu
penyebab tereduksinya peran jurnalis adalah akibat lahirnya fenomena yang
dinamakan citizen journalism. Citizen journalism secara harfiah berarti
jurnalisme warga. Citizen journalism mempunyai spirit yang sama dengan public
journalism ataupun civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu,
bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang samata-mata
dimonopoli para jurnalis.
Tokoh sentral dalam
citizen journalism sudah barang tentu masyarakat itu sendiri. Kemajuan teknologi
informasi membuat publik memiliki akses yang sangat terbuka terhadap dunia
jurnalisme. Pada dasarnya, tidak ada beda antara konsep citizen journalism
dengan konsep jurnalisme konvensional. Kegiatannya sama, yaitu mengumpulkan,
mengolah, dan menyebarluaskan berita. Hanya saja dalam citizen journalism yang
menjadi tokoh sentral adalah masyarakat
Salah satu hasil dari
perkembangan teknologi yang memudahkan akses masyarakat terhadap penyebaran
informasi adalah seiring munculnya situs-situs jejaring sosial, twitter,
facebook, friendster, myspace, dan lain sebagainya. Dan juga hadirnya situs
penyedia blog, seperti blogspot, wordpress, multiply, dan lain sebagainya.
Wadah ini kemudian digunakan oleh masyarakat untuk menyebarkan informasi yang
diperolehnya. Apalagi dalam menyiarkan informasi, masyarakat tidak dibatasi
peraturan dan proses seleksi, tidak sama halnya dengan proses pemberitaan dalam
media konvensional. Dalam media konvensional, fakta-fakta yang telah
dikumpulkan wartawan terlebih dahulu diseleksi oleh dewan redaksi, akibatnya
tidak semua berita yang dikumpulkan wartawan dapat disebarluaskan.
Semua informasi yang
ada dalam dunia maya menjadi milik publik yang dapat diakses semua orang.
Kendati ada peringatan untuk tidak secara bebas mengakses data tertentu, namun
tetap saja eksistensi itu menjadi milik publik, hal ini disebabkan substansi dunia
maya adalah milik publik.
Di lain pihak, kita
juga harus menyadari bahwa dampak kebebasan berekspresi masyarakat dalam
menyebarkan informasi di ranah virtual, tentu tidak luput dari benturan dan
pelanggaran terhadap etika yang berlaku di dunia nyata. Karena tidak ada
kontrol dalam proses penyebarannya tersebut, masyarakat kadang lebih
mengedepankan emosi ketimbang logika sehat dalam tulisan-tulisannya. Jadi tak
salah jika saat ini banyak tulisan di berbagai situs jejaring sosial dan blog
yang cenderung berisi sumpah serapah, makian, dan lain sebagainya. Bahkan,
sampai mengandung unsur pencemaran nama baik seseorang.
Namun, yang patut kita
garisbawahi bahwa itu semua adalah suatu keniscayaan dalam proses demokratisasi
di era keterbukaan yang menyentuh semua lini kehidupan. Jadi, sekarang bukan
saatnya lagi untuk membatasi dan melarang masyarakat dalam berekspresi. Bahkan
sangat tidak relevan untuk melakukan tuntutan hukum terhadap masyarakat yang
melakukan pencemaran nama baik di ranah virtual. Jika memang ada yang merasa
dicemarkan nama baiknya oleh pelaku citizen journalism, cukup diselesaikan
dengan cara-cara yang cerdas dan arif, bukan dengan cara-cara emosional dan
oportunistik, seperti memanfaatkan UU ITE yang penuh pasal karet untuk menjerat
pelaku citizen journalism.
Usaha untuk menciptakan
masyarakat cyber yang bertanggung jawab dan sesuai norma-norma yang dianut
memang mesti terus dilakukan, tentu harus dengan pendekatan persuasi dan
cara-cara yang santun. Namun, alangkah baiknya jika political will itu tumbuh
dan hadir dari dalam diri pelaku citizen journalism itu sendiri. Biarkan para
pelaku citizen journalism membuat norma-norma ataupun kode etik yang dianggap
perlu dan fungsional dalam komunitasnya. Bukan tidak mungkin pelaku citizen
journalism mengadopsi norma-norma dan hukum-hukum di dunia nyata untuk kemudian
diterapkan dalam dunia virtual. Tidak ada gunanya membuat aturan-aturan
represif yang tidak jelas manfaatnya. Apalagi resistensi masyarakat saat ini
sangat besar terhadap hukum positif yang mengatur pencemaran nama baik dan
variannya tersebut. Sehingga proses alamiah lah yang melakukan pendewasaan
terhadap tokoh citizen journalism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar